Langsung ke konten utama

empat pengendalian diri menurut Al-Qur'an

Ditemui di dalam Alquran ada empat ayat yang menjelaskan tentang pengendalian diri, melalui gubahan kata ‘affa-ya’iffu-‘iffah. Keempat ayat tersebut dapat dipahami sebagai contoh sifat manusia yang mencapai kemampuannya dalam mengendalikan diri.
Lalu, apa saja bentuk pengendalian diri yang dijelaskan di dalam Alquran itu?. Berikut ini penjelasannya:
Pertama, orang miskin yang tidak memperlihatkan kemiskinannya. Mereka berhak menjadi objek sedekah atau zakat, tapi tidak memperalat kemiskinan itu untuk meminta-minta.
”(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui” (Al-Baqarah 273).
Kedua, orang yang memelihara anak yatim yang tidak mau ikut menikmati harta anak yatim itu di luar batas kewajaran.
Firman-Nya: ”Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka dewasa, dan kalau kamu menganggap mereka telah mengerti, serahkanlah kepada mereka hartanya, dan janganlah kamu makan (harta itu) di luar patut dan tergesa-gesa sebelum mereka menjadi dewasa. Barangsiapa (dari pemelihara itu) yang cukup mampu hendaklah mengendalikan dirinya (dari memakan harta anak yatim yang dipeliharanya), dan siapa yang hidup miskin boleh memakannya menurut sepatutnya. Apabila kamu menyerahkan hartanya kepada anak-anak yatim itu hendaklah kamu panggil saksi, dan Allah cukup mengadakan perhitungan” (An-Nisaa’ 6).
Ketiga, remaja yang belum mampu menikah tidak sampai berbuat mendekati, apalagi, zina. ”Dan hendaklah memelihara diri orang yang belum sanggup nikah sampai Allah memberikan kekayaan dari kemurahan-Nya ….” (An-Nur 33).
Keempat, perempuan tua yang tidak butuh lagi laki-laki, namun masih menutupi auratnya secara sempurna. ”Dan perempuan-perempuan yang sudah tua yang tidak mengharapkan perkawinan lagi, tidak ada salahnya menanggalkan pakaian (luar), tidak memamerkan perhiasan (terbuka tubuhnya), akan tetapi lebih baik mereka berlaku sopan (mengendalikan diri), dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” (An-Nur 60).
Sungguh tidak mengendalikan diri kalau orang yang berkecukupan meminta-minta. Sangat tidak mengendalikan diri kalau orang yang berkemampuan memakan harta anak yatim. Dan, termasuk tidak mengendalikan diri si gadis dan wanita muda yang tampil ke tengah umum dengan aurat terbuka.
Semua contoh menunjukkan bahwa manusia dituntut mengendalikan diri ketika mereka berada pada posisi yang memungkinkan melakukan penyimpangan. Sama seperti seorang yang sedang memangku jabatan dituntut mengendalikan diri agar tidak korupsi.
Seorang pedagang yang berpeluang mempermainkan timbangan dan takaran dituntut tidak melakukannya dalam rangka mengendalikan diri. Seseorang yang gagah berani diakui mengendalikan diri bila tidak melakukan tindak kekerasan dan penindasan. Wallahu A’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI JAWA

 Agama Islam masuk ke Pulau Jawa kira-kira pada abad ke-11 M., yang dibawa oleh para pedagang Arab dan para mubaligh dari Pasai. Tempat yang mula-mula dimasuki Islam di pulau Jawa yaitu daerah-daerah pesisir utara Jawa Timur. Tokoh terkenal yang berdakwah di Jawa Timur adalah Maulana Malik Ibrahim. Beliau menetap di Gresik, kemudian mendirikan pusat penyiaran agama Islam dan pusat pengajaran. Dalam majlisnya itu beliau mengkader beberapa orang murid. selanjutnya mereka menyiarkan agama Islam ke daerah-daerah lain di pulau Jawa. Di Jawa Tengah, penyiaran Agama Islam berpusat di Demak. Penyiaran agama Islam di Pulau Jawa dilakukan oleh para wali yang berjumlah 9 yang dikenal dengan Wali Songo (Wali Sembilan). Kemudian murid-murid Wali Songo turut pula menyiarkan agama Islam ke daerah pedalaman pulau Jawa, sehingga agama Islam berkembang dengan pesatnya Prakiraan masuknya Islam di Jawa Timur tidak lepas dari ditemukannya makam atas nama Fatimah binti Maimun. M akam Islam

SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI SULAWESI

Peradaban Islam di Sulawesi Sejarah masuknya perkembangan Islam di Sulawesi berjalan melalui perdagangan. Enggak hanya itu saja, perkembangan Islam pun dilakukan dengan dakwah oleh para mubalig. Pada awalnya perkembangan ini berjalan dengan baik dan damai, namun seiring berjalannya waktu terjadi kekerasan pada saat kerajaan Islam Sulawesi terbentuk. Kekacauan terjadi karena beriringan dengan kondisi politik kerajaan karena perebutan tahta. Raja dan bangsawan menggunakan kekuatan Islam sebagai sarana untuk berkuasa dan pada akhirnya Islam mampu menjadi agama kerajaan. Pada abad 17 M, Sulawesi memiliki beberapa kerajaan Islam seperti Gowa-Tallo (Makassar), Wajo (Bugis), Bone dan kerajaan kecil lainnya. Gowa-Tallo Kerajaan Gowa-Tallo menerapkan konsep dwitunggal kerajaan. Dalam buku Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia (2012) karya Daliman, bersatunya kerajaan Gowa dan Tallo terjadi pada tahun 1603. Sultan Alaudin (raja Gowa) bekerja sama dengan Sultan Adullah

HAL-HAL YANG DAPAT MERUSAK RUMAH TANGGA

 1.      Ila’ Ila’ adalah sumpah suami bahwa ia tidak akan mencapuri istrinya dalam masa lebih empat bulan atau dengan tidak menyebut masanya. Ila’ merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab dengan maksud untuk menyakiti istrinya dengan cara tidak menggauli dan membiarkan istrinya menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah dicerai atau tidak. Setelah Islam datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’ paling lama empat bulan. Dengan demikian, apabila masa empat bulan itu sudah lewat, suami harus memilih rujuk atau talak. Apabila yang dipilih rujuk, suami harus membayar kafarat sumpah. Namun, jika yang dipilih talak, akan jatuh talak sugra. 2.      Zihar Zihar adalah ucapan suami kepada istrinya bahwa istrinya menyerupai ibunya. Contohnya : “Engkau tampak olehku seperti punggung ibuku.” Zihar pada zaman jahiliyah merupakan cara untuk menceraikan istrinya. Setelah Islam datang, Islam melarang perbuatan itu. Apabila zihar terlanjur dilakukan oleh suami, ia w